Rumah Itu Sekarang Sepi


 

Rumah kecil untuk ukuran rumah di kampung itu kini menemui nasibnya dalam sepi, ditinggalkan orang-orang yang lahir dan besar di sana.

Ramadhan hari ke 16 ini memutar kembali kenangan yang telah lama terpendam di sebuah rumah dengan empat buah kamar tidur, sebuah dapur luas, sebuah ruang keluarga, sebuah ruang tamu dan sebuah teras dengan atap seng yang mulai koyak di beberapa tepi.

Dulu tak begitu lama, hanya mungkin 20 tahunan di bulan Ramadhan. Rumah itu seperti sebuah terminal yang sibuk menjelang lebaran. Ibu yang sedang mempersiapkan menu berbuka, kakak yang sibuk mencuci piring, adik yang minta mandi, ayah yang asyik ngobrol dengan temannya di teras.

Sesekali terdengar suara agak keras "Sudah belum..?" mengingatkan seseorang anggota keluarga yang sedang berada di kamar mandi untuk segera usai, karena akan segera mandi atau buang air. Seorang kakak laki-laki sedang sibuk mengisi bak mandi dengan memompa air dari sumur pompa dari besi cor.

Aroma masakan memenuhi bilik dapur dengan asap mengepul dari perapian yang berbahan bakar kayu jati. Ya.. kayu jati menjadi bahan bakar untuk memasak segala masakan di dapur itu. Sebuah buah tungku tampak membara membakar panci besar yang berisi nasi putih yang berasal mengepul ketika tutupnya dibuka. Tungku yang lain tak kalah membara membakar ketel berisi air mendidih untuk membuat minuman teh yang segera akan disiapkan menjelang berbuka puasa. Sebentar lagi penggorengan besar akan naik mematangkan lauk sebagai teman nasi yang sudah mulai matang.

Semuanya masih di sana, dua tungku, dua kamar mandi, sebuah sumur pompa. Bahkan penggorengan, panci besar, baskom dan tempat nasi dari bambu masih tertata di paku-paku yang menempel di tembok dapur.

Yang tidak ada hanyalah, kesibukan seperti 20 tahun yang lalu. Semua kini telah berganti menjadi sepi. Peralatan itu lama tak terpakai. Kamar mandi yang dulu selalu sibuk, kini tak punya kesibukan selain menunggu digunakan jika ada orang yang berkunjung ke rumah itu.

Jendela dapur yang menghadap ke halaman belakang kini tak lagi menjadi penghubung orang-orang di dapur dan di halaman belakang. Teras yang dulu selalu bersih dari debu, tempat bapak dan temannya berbincang kini terasa dingin dan berdebu.

Ah.. rumah kecil untuk ukuran rumah di kampung itu kini menemui nasibnya dalam sepi, ditinggalkan orang-orang yang lahir dan besar di sana.

Ada rasa ingin untuk kembali ke masa itu, walaupun enggan tetap menggelayut untuk kembali meniti masa-masa sulit saat itu juga. Tak ada uang lebih untuk sekadar jajan, hanya singkong dan umbi yang hadir manakala usai berbuka puasa. Tak ada baju dan sandal bagus untuk berlebaran. Biskuit dan roti dalam kaleng selalu disimpan saat lebaran, khusus untuk menjamu tamu yang datang berkunjung.

Bahkan, beras kadang habis dan harus memasak nasi yang dikeringkan sisa kemarin yang tak dibuang dikumpulkan menjadi nasi aking. Lauk pun harus terima hanya dengan kerupuk atau mungkin garam atau kelapa yang diparut.

Ya.. Ramadhan selalu menghadirkan romantika masa lalu dalam sebuah keluarga.

Cerita lain:

Bahagia ada Karena ada Derita



Komentar